Friday, August 28, 2015

Makan malam terakhir bersama ibu

Ada banyak catatan yang mesti
diperhatikan oleh seorang anak selepas
menikah. Baik ia sebagai anak
perempuan maupun laki-laki. Khusus
bagi laki-laki, ada penekanan dalam
hal ini. Sebab, hingga kapan pun,
surga bagi seorang anak letaknya ada
pada kaki ibunda.
Selain itu, selepas menikah, bakti
seorang anak sama sekali tak otomatis
terputus dengan alasan telah memiliki
keluarga sendiri. Dalam hal ini, penting
kiranya bagi kedua pasangan dan
keluarga terdekat untuk saling
mengingatkan.
Jangan sampai kisah ini terjadi antara
diri dan ibu kita. Sebuah kisah haru nan
memilukan ini, patut dijadikan cermin
bagi kehidupan kita; sebagai anak
maupun orangtua.
Sebutlah namanya Fulan. Sudah 21
tahun ia menikah dengan seorang
wanita bernama Fulanah. Tepat di usia
ke 21 pernikahannya, sang istri
bertanya menawarkan, “Mas, tak
berkenankah kau makan malam
bersama seorang wanita?” Sang suami
yang memang tak memiliki saudara dan
anak wanita itu bertanya kebingungan,
“Maksudmu?”
Lantas dijelaskanlah oleh sang istri,
“Esok, keluarlah untuk makan malam
bersama ibu.” Aduhai, rupanya Fulan
ini amat sibuk mengurusi keluarga,
pekerjaan dan kehidupannya. Lanjut
Fulanah, “Sudah 21 tahun –sejak
menikah denganku- kau tak pernah
makan malam bersama ibu,” katanya
menerangkan, “Teleponlah beliau,
ajaklah makan malam. Beliau pasti
amat mendambakan kebersamaan
denganmu.”
Segeralah Fulan menelepon sang ibu.
Dalam perbincangan udara itu,
disampaikanlah maksudnya. Sang ibu
yang telah lama menjanda dan hidup
bersama keluarga lainnya itu amat
sumringah mendengar ajakan itu.
Meskipun, ada rasa tak percaya akan
ajakan mengagetkan dari anak yang
amat disayanginya. Pasalnya, masa 21
tahun bukanlah bilangan waktu yang
sebentar.
Hari yang direncanakan pun menyapa.
Fulan menuju rumah ibunya.
Sesampainya di depan rumah sang ibu,
sosok janda yang sudah lama
mendambakan kebersamaan bersama
anaknya itu tengah menunggu, tepat di
rahang pintu. Tak ingin diketahui oleh
saudaranya yang lain, sang ibu
langsung menyambut, menghampiri
dan bergegas masuk ke dalam mobil.
Di dalam mobil, terjadilah
perbincangan kecil antara keduanya.
Tentang rumah makan dan menu
terbaik yang hendak mereka tuju dan
santap malam ini. Tak lama, tibalah
mereka di tempat makan terbaik di
kota itu.
Lamat-lamat, sang anak memerhatikan
pakaian yang dikenakan oleh ibunya.
Agak sempit. Rupanya, itu adalah
pakaian terakhir yang diberikan oleh
almarhum suaminya. Duhai, sang anak
ini sampai lupa membelikan pakaian
untuk ibunya.
Maka datanglah pelayan pembawa
menu. Disodorkanlah daftar makanan
yang hendak dipesan. Ternyata, sang
ibu sudah tak kuasa membaca. Dengan
senyum, Fulan menawarkan, “Aku
bacakan menunya. Tunjuk saja menu
apa yang Ibu kehendaki.”
Lantas dipesanlah aneka jenis makanan
yang dihidangkan, tak lama kemdian.
Bersebab bahagianya yang memuncak
lantaran diajak makan malam oleh anak
kesayangannya, selera makan sang ibu
tenggelam seketika. Sama sekali tak
berminat untuk mencicipi, apalagi
melahapnya. Sosok yang sudah hampir
terbenam masa hidupnya itu hanya
memerhaikan anaknya, dengan cinta
dan rindu yang kian bertambah.
Di tengah menikmati menu makan
malamnya, Fulan berkata, “Bu, ini yang
pertama sejak 21 tahun yang lalu.
Maafkan anakmu ini. Esok kita akan
makan malam lagi untuk yang kedua.”
Mendengar kalimat itu, mata sang ibu
berbinar sumringah. Binar bahagia itu
semakin bertambah hingga kedua insan
itu pulang. Sang anak mengantarkan
ibunya ke kediamannya, sementara ia
kembali ke rumahnya.
Waktu-waktu selepas itu, adalah waktu
menuggu nan membahagiakan bagi
sang ibu. Ditungguilah ponselnya guna
berharap panggilan dari anaknya.
Sementara itu, di belahan tempat lain,
sang anak tetap sibuk dengan dunia,
pekerjaan dan kehidupannya. Ia, benar-
benar lupa dengan janji yang
diungkapkannya sendiri.
Lantaran usia yang menua, sang ibu
pun sakit. Makin hari, bertambah parah
sakitnya. Alasan sibuk pun membuat
Fulan tak kunjung membesuk ibunya.
Hingga akhirnya, wanita berhati lembut
itu wafat sebelum sang anak sempat
menjenguknya.
Proses pemakaman pun berlangsung
dengan lancar. Ada haru nan pilu yang
menelisik ke dalam hati Fulan.
Perasaan bersalah selalu datang
belakangan. Andai perasaan itu bisa
datang lebih dulu, mungkin saja ia akan
bisa menebus dosanya.
Lepas pulang dari pemakaman,
ponselnya bergetar. Diangkatklah oleh
si Fulan. Tertera dalam layar,
pemanggil adalah ruma makan tempat
ia dan ibunya makan malam tempo
hari. “Halo, Pak Fulan,” ucap suara
dari seberang. Lepas disahut,
penelepon melanjutkan, “Maaf, Pak.
Dalam catatan kasir kami, bapak telah
memesan tempat makan malam untuk
dua orang. Tagihannya suda dibayar
oleh Ibu anda.”
Entahlah apa yang dirasa olehnya.
Tanpa penutup, dimatikanlah ponselnya
sembari bergegas menuju rumah
makan tersebut. Sesampainya di sana,
sang kasir menyerahkan sebuah pesan
tertulis tangan. Dari sang ibu. Tertera
di dalamnya, “Nak, aku mengerti.
Malam ini adalah makan malam
terakhir kita. Meski kau sampaikan
akan ada yang kedua, aku tak terlalu
yakin. Maka, makanlah bersama
istrimu. Aku sudah membayarnya
untumu dengan uang Ibu.”
“Ibu, Ibu, Ibu,” demkianlah pesan
Rasulullah Saw. Sosok mulia itu harus
didahulukan dari sosok bapak. Sosok
ibu adalah mutiara kebaikan nan tak
tergantikan. Selalu ada mutiara yang
bisa digali darinya. Pasti ada hikmah
dari wanita yang mungkin saja, sudah
kita sia-siakan sejak lama.
Rabbi, ampuni dosa kami, dosa bapak
dan ibu kami. Sayangilah keduanya,
sebagaimana mereka menyayangi kami
di masa belia. @Padlikurniawan

0 komentar:

Post a Comment